Usulan FPI Awal Tahun 2012 Tentang Review RUU Pemilihan Kepada Daerah
USULAN FPI AWAL
TAHUN 2012 TENTANG
REVIEW RUU
PEMILIHAN KEPALA DAERAH
I.
PENDAHULUAN
Sejak
diselenggarakannya Pilkada langsung telah terjadi berbagai kekerasan bahkan
kerusuhan yang terjadi secara sporadis di beberapa tempat. Jumlah kerusuhan
yang terjadi dalam 200-an pilkada sampai 2010 dan yang sudah berjalan di akhir
putaran kedua ini memicu perdebatan mengenai masa depan pilkada langsung. Ada
beberapa argumen yang mendasari mengapa pemilihan Calon Gubernur dan Calon
bupati/Walikota harus dikembalikan ke sistem permusyawaratan dan perwakilan
sebagaimana awal masa reformasi, yaitu:
1. Biaya pemilihan
Gubernur sangat mahal, biaya ini tidak hanya dihitung seberapa besar Pemda
mengeluarkan uang untuk menyelenggarakan Pemilu Gubernur tapi juga termasuk
biaya para pasangan calon dalam mengorganisir diri untuk memenangkan Pemilu.
Biaya besar yang dikeluarkan para pasangan calon ini dikawatirkan berpotensi
negatif pada saat memimpin nanti, yaitu cenderung berusaha mengembalikan “modal
biaya kampanye” apabila pasangan tersebut menang dalam pemilu Gubernur.
2. Partisipasi
Pemilih Rendah. Pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan secara langsung
memiliki legitimasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan melalui
perwakilan terbukti keliru. Karena pada faktanya partisipasi pemilih dalam
Pilkada Langsung sangat rendah. Penurunan partisipasi ini sejalan dengan
menurunnya keyakinan masyarakat
terhadap kemampuan kepala
daerah hasil pilkada
langsung. Selain itu,
kondisi tersebut didorong oleh
kekecewaan masyarakat terhadap partai politik yang kerap kali
menyodorkan calon yang tidak sesuai
dengan aspirasi masyarakat sebagai hasil
dari proses pencalonan
yang diduga penuh dengan KKN dan
politik uang, serta
kekecewaan masyarakat terhadap
kelalaian KPU dan para
pengawas dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang adil dan transparan.
Kekecewaan itu memunculkan respon mulai dari mengu-atnya apatisme
di kalangan masyarakat,
gejala protest voters
yang meluas hingga
golput, serta munculnya aspirasi
calon perseorangan atau calon independen.
Selain itu, banyak pihak berpendapat bahwa pilkada yang telah dilakukan
justru tidak memperkuat makna dari desentralisasi yang sesungguhnya, yaitu
memperkuat integrasi di tataran negara kesatuan.
3. Kualitas Kepala
Daerah. Pilkada langsung yang mengusung calon kepala daerah/wakil secara
berpasangan ternyata juga tidak sepenuhnya mampu menghadirkan pemimpin daerah
yang kompak dan serasi dalam mewujudkan visi dan misi yang mereka janjikan
selama kampanye. Data dari 2005 hingga 2011 telah menunjukkan, dari 753
pasangan Kepala Daerah / Wakil terpilih, hanya 21 pasangan yang masih tetap
maju dengan pasangan yang sama untuk periode selanjutnya. Artinya, hanya 2,6
persen yang masih setia, sementara 97,4 persen pasangan kepala daerah dan
wakilnya "pecah kongsi". Dampak dari pecah kongsi ini tidak hanya
menyebabkan bingungnya birokrasi, tetapi juga merupakan pendidikan politik yang
buruk bagi masyarakat, karena tidak jarang mereka mengumbar konflik di depan publik.
Bahkan, dari 753 pasangan kepala daerah/wakil kepala daerah yang terpilih dari
2005 hingga akhir 2011, sebanyak 275 orang (18,2 persen) terjerat masalah
hukum, baik sebagai saksi, tersangka, terdakwa, maupun terpidana. Angka
tersebut belum termasuk pejabat struktural dan anggota DPRD yang harus
"terseret" kasus yang sama dengan kepala daerah dan wakilnya.
4. Ancaman Laten
Terhadap Stabilitas Politik Nasional. Salah satu tujuan Pilkada Langsung adalah menciptakan stabilitas
politik dan efektifitas pemerintahan di tingkat lokal, karena Pilkada Langsung
dianggap memiliki legitimasi yang kuat. Namun pada faktanya Pilkada Langsung
yang merupakan pestanya rakyat daerah, justru diartikan sebagai kebebasan
rakyat untuk berbuat apa saja, termasuk melakukan tindakan-tindakan anarki
dalam pelaksanaan Pilkada serta mengambil keuntungan pribadi dari pelaksanaan
Pilkada tersebut. Sengketa Hasil Pilkada Langsung seringkali terjadi dan
memunculkan beberapa penolakan terhadap hasil perolehan dan perhitungan suara.
II.
TENTANG PEMILIHAN
KEPALA DAERAH (GUBERNUR)
(a)
Fungsi Pemerintahaan Provinsi
Indonesia yang
menganut bentuk negara kesatuan sejak diterapkannya Pilkada Langsung tujuh
tahun silam (2005-2012) banyak mengalami berbagai kerusuhan komunal, vertikal,
dan horizontal. Berbagai kerusuhan yang berkepanjangan di banyak daerah akibat
Pilkada Langsung menyebabkan lemahnya kendali pemerintah pusat terhadap
sektor-sektor strategis di daerah. Hal ini sangat membahayakan, Pilkada
Langsung ini jelas-jelas telah melemahkan integrasi elemen-elemen bangsa yang
seharusnya fokus membangun bangsa dengan mengelola sumber daya alam (SDA) yang
ada di daerahnya masing-masing. Kita justru lebih banyak melihat elemen-elemen
bangsa sibuk mengelola konflik akibat dampak negatif dari Pilkada Langsung. Hal
ini mempengaruhi eksistensi Indonesia sebagai negara kesatuan yang semakin hari
mulai bergeser ke arah sistem negara semi federal yang terkotak-kotak.
Problematika
lainnya
yang patut diperhatikan mengenai sistem dari pemerintahan daerah itu
sendiri. Problematika tersebut adalah mengenai Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 yang memiliki kekurangan mendasar dalam daerah menempatkan
otonom
provinsi dengan daerah otonom kabupaten/kota yang pada akhirnya akan
berujung
pada bagaimana mengkonstruksikan posisi gubernur dan cara memilihnya.
Pasal
37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa :
(1) Gubernur yang
karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah
provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam
kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggungjawab
kepada Presiden.
Pengaturan dalam
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana tersebut
di atas secara
jelas menyatakan bahwa dengan menempatkan gubernur sebagai wakil
Pemerintah di provinsi maka secara otomatis posisi provinsi juga bukan hanya
berstatus sebagai daerah otonom saja tetapi juga merupakan wilayah kerja
gubernur sebagai wakil pemerintah.
Karakteristik
khas dari posisi provinsi seperti yang dijelaskan Pasal 37 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tersebut, dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih banyak
berkenaan dengan pelaksanaan aktivitas dekonsentrasi ketimbang aktivitas
desentralisasi. Pelaksanaan asas dekonsentrasi ini melahirkan pemerintahan local administrative. Daerah administratif
meliputi tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Pemerintahan administratif
diberi tugas atau wewenang menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan pusat
yang ada di daerah. Oleh karena itu, dalam kasus Indonesia pada lingkup
provinsi maupun kabupaten/kota, dalam aspek elektoral jika dilakukan Pilkada
Langsung, akan terjadi ketidakselarasan dengan posisi provinsi dan
kabupaten/kota sebagai wilayah kerja sebagai wakil Pemerintah.
(b)
RUU Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur)
Dalam RUU
Pemilihan Kepala Daerah, paling tidak ada 3 (tiga) point yang menjadi perhatian. Antara lain adalah:
1. Pasal 1 angka 21
yang menyebutkan bahwa: “Pemilih untuk Pemilihan Gubernur adalah Anggota DPRD
Provinsi atau sebutan lainnya.” Dan Pasal 2 yang menyebutkan bahwa:
"Gubernur dipilih oleh Anggota DPRD Provinsi..."
2. Pasal 29 mengenai
penetapan hasil pemilihan, yaitu:
“mengenai calon gubernur telah mendapat suara sekurang-kurangnya
setengah ditambah satu (50% + 1) dari jumlah anggota DPRD yang hadir, pemilihan
dinyatakan selesai”
3. Pasal 11 mengenai
persyaratan pengajuan calon gubernur. Yaitu “Peserta pemilihan gubernur adalah
calon gubernur yang diusulkan oleh fraksi atau gabungan fraksi di DPRD
Provinsi”
(c)
Usulan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur)
1.
Sistem permusyawaratan dan perwakilan (Pilkada dipilih
oleh DPRD) dalam memilih calon gubernur awal masa reformasi relatif lebih
efektif dan efisien dan sejalan dengan sistem negara kesatuan yang dianut oleh
Indonesia.
2.
Menjawab kebuntuan Pilkada Langsung yang partisipasi
pemilihnya rendah. Pasal 29 tentang keterpilihan gubernur sekurang-kurangnya
mendapatkan dukungan setengah ditambah satu (50% + 1) dari jumlah anggota DPRD
yang hadir. RUU Pemilihan Kepala Daerah dalam konteks ini sudah cukup baik. Dan
membantah pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan secara langsung memiliki
legitimasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan melalui perwakilan
terbukti keliru. Karena pada faktanya partisipasi pemilih dalam Pilkada
Langsung sangat rendah.
3. Pasal 11 mengenai
persyaratan pengajuan calon gubernur. Yaitu “Peserta pemilihan gubernur adalah
calon gubernur yang diusulkan oleh fraksi atau gabungan fraksi di DPRD
Provinsi”. Ini harus di revisi mengingat penguatan legitimasi calon gubernur
yang akan dipilih oleh DPRD merupakan representasi dari rakyat harus dibuktikan
dengan memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen)
dari jumlah kursi DPRD.
III.
TENTANG PEMILIHAN
BUPATI/WALIKOTA
a.
Fungsi Pemerintahan Kabupaten/Kota
Pemerintahan
Kabupaten/Kota merupakan pemerintahan daerah yang paling bawah dan paling dekat
interaksinya dengan masyarakat. Kedekatan ini, pada gilirannya, akan menjadikan
pemerintahan daerah tersebut diharapkan untuk paling akuntabel, paling
responsif, paling efisien dan paling efektif dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, melaksanakan pembangunan daerah, dan menjamin kesinambungan
efektivitas pemerintahan nasional.
Realitasnya dalam
Pilkada Langsung fungsi pemerintahan kabupaten/kota mulai dari pencalonan sudah
disibukan oleh berbagai kesibukan proses administratif pencalonan yang panjang,
kemudian dilanjutkan dengan agenda kampanye membutuhkan financial yang luar
biasa besar. Setelah terpilih disibukan dengan sengketa-sengketa Pilkada yang
menggugat hasil pemilihan secara langsung. Pertanyaanya kapan pemrintahan
kabupaten/kota yang terpilih melayani kepentingan rakyat? Itu berarti
pemerintahan kabupaten/kota yang dipilih melalui pilkada langsung sudah
kehilangan fungsinya dan sudah menyimpang dari tujuan awal, yaitu terwujudnya
pemerintahan yang akuntabel, responsif, efisien dan efektif.
b.
RUU Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/Walikota)
1. Pasal 71,
mengenai calon Bupati/Walikota dapat diajukan
dari partai politik dan calon perseorangan.
c.
Usulan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Bupati/Walikota)
1. Sistem
permusyawaratan dan perwakilan (Pilkada dipilih oleh DPRD) dalam memilih calon
gubernur awal masa reformasi relatif lebih efektif dan efisien dan sejalan
dengan sistem negara kesatuan yang dianut oleh Indonesia.
2. Bahwa Pasal 71,
mengenai calon perseorangan untuk calon Bupati/Walikota dihapuskan sebagai
konsekuensi dari sistem keterwakilan yang sudah diwakili oleh DPRD. Calon
perorangan bisa mengikuti seleksi yang nanti akan diselenggarakan oleh partai
politik secara internal sesuai dengan kebijakan parpol yang memiliki wakil di
DPRD.
3. persyaratan
pengajuan calon Bupati/Walikota harus memenuhi persyaratan perolehan
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD.
IV.
KESIMPULAN
Pilkada langsung
nyatanya telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya memakan waktu yang
sangat panjang, sehingga sangat menguras
tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar, perpecahan
internal parpol, money politic, dan
kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan banyak pihak
termasuk instansi resmi, serta ancaman disintegrasi sosial. Oleh karena itu,
Pilkada Langsung keberadaannya perlu ditinjau ulang sebagai upaya memperkuat
dan mengembalikan sistem permusyawaratan dan perwakilan. Untuk memperkuat
sistem permusyawaratan dan perwakilan ini, keberadaan MPR, DPR, DPD dan DPRD
harus ditata secara proporsional agar berjalan dan bekerja lebih efektif dan
efisien.
Melihat jalannya
Pilkada Langsung yang kian carut-marut dan semakin banyak menimbulkan rusakan,
sangatlah mendesak untuk segera membenahinya. Apabila kita terlambat,
dikhawatirkan Indonesia akan meraih predikat sebagai negara yang gagal dalam
melaksanakan regenerasi kepemimpinan bangsa. Indonesia sebagai sebuah bangsa
telah memiliki kepribadian sendiri, yaitu negara kesatuan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan akan terancam
eksistensinya, jika semangat federalisme - liberalisme yang dipilih dalam
suksesi politik diberbagai daerah di Indonesia (Pilkada Langsung) telah
terbukti gagal terus dilanjutkan. Maka kekayaan, Keamanan dan keselamatan
negara akan menjadi taruhannya. Oleh karena itu mengembalikan pemilihan
gubernur Calon Gubernur dan Calon bupati/Walikota dengan sistem permusyawaratan
dan perwakilan adalah langkah yang bijaksana pada saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar