Senin, 22 Juni 2015

Sosialisasi Fatwa Dengan Pendekatan Budaya

Tegal, Jawa Tengah – Hasil-hasil Ijtima’ Ulama 2015 dan fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan disosialisasikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai cara dan sarana yang memungkinkan. Diantaranya dengan memanfaatkan berbagai event sosial dan menggunakan pendekatan budaya. Demikian Wakil Ketua Umum (Waketum) MUI, DR.K.H. Ma’ruf Amin, pada penutupan Ijtima’ Ulama 2015 dan Silaturahim Ulama dengan Pemerintah Kabupaten Tegal, 09 Juni 2015 malam, di Pendopo Pemerintah Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
“Kami akan melakukan upaya-upaya sosialisasi hasil-hasil Ijtima Ulama dan fatwa-fatwa MUI, bekerjasama dengan berbagai pihak. Termasuk juga dengan menggunakan event-event sosial dan pendekatan budaya yang sesuai dengan tuntunan agama,” tuturnya.
Selama ini, tokoh umat ini menambahkan, kita telah menjalin kerjasama dengan pemerintah maupun lembaga-lembaga non-pemerintah dalam upaya melakukan sosialisasi hasil-hasil Ijtima Ulama yang lalu, dan fatwa-fatwa MUI. Seperti melalui forum-forum kajian, pelatihan, seminar, majlis-majlis maupun penerbitan buku serta online. Dan kini akan lebih ditingkatkan lagi dengan pendekatan budaya yang sesuai dengan tuntunan agama.
Lazimnya berbagai event sosial dan pagelaran budaya, diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan hadirin. Seperti pagelaran wayang golek atau wayang kulit yang banyak digemari masyarakat. Memanfaatkan momen budaya itu untuk sosialisasi fatwa-fatwa MUI dan nilai-nilai dakwah Islamiyah, tentu akan lebih banyak warga masyarakat yang tercerahkan.

Sajian “Dalang-Wayang Santri”
Dan hal ini telah pula ditunjukkan dengan kreativitas Ki Entus Susmono, dalang wayang golek terkemuka di Tegal, yang kemudian terpilih menjadi Bupati Tegal. Bahkan pada kesempatan penutupan Ijtima’ Ulama 2015 dan Silaturahim Ulama dengan Pemerintah Kabupaten Tegal, Ki Entus Susmono sendiri bersama timnya, tak segan-segan menunjukkan kebolehannya sebagai dalang dengan menampilkan sajian “Dalang-Wayang Santri”, yang sarat dengan nilai dan pesan dari hasil-hasil Ijtima Ulama serta Fatwa-fatwa MUI.
“Saya belajar sebagai santri kepada K.H. Ahmad Saidi, pimpinan Ponpes At-Tauhidiyah, Cikura,” ujarnya merendah.
Lalu dengan pelajaran yang diperolehnya itu, ia mengaku mendapat pencerahan, sekaligus bekal. Sehingga dapat disebarkan lebih luas kepada masyarakat, melalui pagelaran budaya maupun kesenian yang telah lama digelutinya.

Perda tentang RPH Halal
Diantara hasil-hasil Ijtima’ Ulama 2015, disepakati bahwa penyelenggara Negara di derah Propinsi dan Kabupaten/Kota perlu, dan bahkan harus menjaga kehalalan produk pangan yang diproduksi dan beredar di daerahnya. Diantaranya adalah dengan menetapkan Perda tentang Rumah Potong Hewan (RPH) Halal, yang bila pelu dapat didirikan sampai tingkat kecamatan. Juga adanya ketentuan RPH untuk binatang halal dan RPH untuk binatang haram. Keberadaan Perda ini diharapkan dapat menjamin proses penyembelihan dan pengolahan hewannya sesuai dengan ketentuan syariah.
Para ulama dan tokoh masyarakat perlu pula terus melakukan komunikasi untuk terwujudnya jaminan produk halal di daerah masing-masing. Agar pembentukan/revisi Perda dapat lebh optimal dan mencapai tujuan, MUI menghimbau Pemda-pemda melibatkan MUI daerah setempat. Berkenaan dengan hal ini, MUI juga mendorong Pemda-pemda untuk meningkatkan sosialisasi Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal (JPH), khususnya mengenai pemotongan hewan halal yang sesuai kaidah Syariah kepada masyarakat, terutama kepada para petugas pemotongan hewan.
Selain itu, hasil dari Sidang Pleno Ijtima’ Ulama 2015 juga mendorong agar Pemerintah membentuk Peraturan Perundang-undangan mengenai Pariwisata Syariah, sebagai salah satu bentuk dasar hokum pengaturan dan pengembangan pariwisata di tanah air. Penerbitan peraturan ini dimaksudkan agar pariwisata dapat lebih perkembang lagi di tanah air, namun nilai-nilai serta ajaran agama yang luhur juga dapat tetap terjaga, seraya mencegah terjadinya kerusakan dan kerugian, terutama dalam aspek moral, akibat dari perkembangan pariwisata tersebut. Untuk implementasi lebih rinci, Peraturan pemerintah tersebut diharapkan dapat dirinci dan dielaborasi lebih lanjut, dalam Peraturan Daerah (Perda).
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan peraturan mengenai Pariwisata Syariah tersebut, diantaranya adalah: berorientasi pada kemaslahatan umum, pencerahan, penyegaran dan ketenangan batin umat; menghindari kemusyrikan dan khurafat; menghindari maksiat, seperti zina, pornografi, pornoaksi, prostitusi, minuman keras, narkoba, dan judi. Termasuk juga menjaga kelestarian lingkungan, dan menghormati nilai-nilai social-budaya serta kearifan lokal. (Usm).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar