HARIANACEH.co.id — Persoalan di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh bukan hanya sebatas persoalan sunat seperti pegang tongkat dan azan dua kali yang tidak dihargai, tetapi yang lebih substantif dan urgen adalah adanya salah satu syarat khutbah jum’at yang “dihilangkan” selama ini, yaitu muwalat.
4 Mazhab Yang muktabar ittifaq mereka semua bahwa mualat pada rukun khutbah adalah syarat shahnya khutbah. Lalu mazhab apakah Yang dipakek dan diterapkan di Masjid Raya Baiturrahman selama ini Yang tidak mengulangi khutbah setelah mengalami faraq Yang sangat panjang.
Hukum muwalat (beriringan/bersambung) antara dua khutbah jum’at menurut 4 mazhab secara umum adalah WAJIB (Al Mazahibul Ar ba’ah, Beirut: Dar al Fikr, juz 1, hlm. 337-338).
1.الشافعية قالوا يشترط الموالاة بين الخطبتين أي بين أركانهما وبينهما وبين الصلاة وحد الموالاة أن لا يكون الفصل بقدر ركعتين بأخف ممكن فإن زاد عن ذلك بطلت الخطبة ما لم تكن الزيادة عظة (قال القليوبي: ولا يضر الوعظ بين الأركان وإن طال عرفا إلا إن طال بغير العربية، حاشية قليوبي على شرح المحلي، ج ١ ص ٢٨١)
Para ulama syafi’iyyah berkata disyaratkan muwalat diantara dua khutbah, artinya diantara rukun rukun keduanya dan diantara dua khutbah dan shalat. Batasan muwalat adalah tidak terjadi fashal (pemisahan) dengan ukuran shalat dua rakaat yang dilakukan sesingkat mungkin. Jika lebih dari ukuran tersebut, maka khutbah menjadi batal selama yang lebih itu tidak termasuk pelajaran (Imam Qalyubi berkata: dan tidak mudharat/boleh memberi pengajaran diantara rukun rukun, walaupun panjang pada ‘uruf, kecuali jika panjang dengan bukan bahasa arab, Hasyiah Qalyubi ‘Ala Syarh Mahalli, juz 1 hal. 281).
2. المالكية قالوا يشترط وصل الخطبتين بالصلاة كما يشترط وصلهما ببعضهما ويغتفر الفصل اليسير عرفا
Para ulama Malikiyah berkata disyaratkan menyambung dua khutbah dengan shalat sebagaimana disyaratkan menyambung dua khutbah tersebut dengan bagian bagiannya (rukun rukunnya). Dan dimaafkan fashal (pemisahan) yang dikatagorikan sedikit (singkat) pada ‘uruf.
3. الحنفية قالوا يشترط أن لا يفصل الخطيب بين الخطبتين والصلاة بفاصل أجنبي كالأكل ونحوه أما الفاصل غير الأجنبي كقضاء فائتة وافتتاح تطوع فإنه لا يبطل الخطبة وإن كان الأولى إعادتها وكذا لو أفسد الجمعة ثم أعادها فإن الخطبة لا تبطل
Para ulama Hanafiyyah berkata disyaratkan bagi seorang khatib tidak memisahkan diantara dua khutbah dan shalat dengan pemisahan yang ajnabi (yang tidak berkaitan dengan ibadah jum’at) seperti makan dan sejenisnya. Adapun pemisahan yang yang bukan ajnabi (yang berkaitan langsung dengan ibadah jumat) seperti mengqadha sesuatu yang tertinggal, membuka dengan ibadah yang sunat diantara keduanya, sesungguhnya hal itu tidak membatalkan khutbah walaupun yang lebih utama adalah MENGULANGI khutbah tersebut. Demikian juga jika terjadi kerusakan/ batal pada jumat, kemudian mereka mengulangi jum’at tersebut, sesungguhnya khutbah tidak batal.
4. الحنابلة قالوا يشترط لصحة الخطبتين الموالاة بين أجزائهما وبينهما وبين الصلاة والموالاة هي أن لا يفصل بينهما بفاصل طويل عرفا
Para ulama Hanabilah berkata syarat sahnya dua khutbah adalah muwalat diantara bagian bagian (rukun) keduanya dan muwalat diantara dua khutbah dan shalat. Muwalat itu adalah tidak terjadinya fashal (pemisahan) diantara keduanya dengan pemisah yang dikatagorikan panjang (lama) pada ‘uruf.
Para ulama 4 mazhab secara umum mengatakan muwalat diantara dua khutbah hukumnya wajib. Boleh khatib memisahkan dengan pengajaran (ceramah) tetapi tidak lebih dari ukuran dua rakaat yang ringan. Ukuran tersebut bila dikonversikan dengan menit pasti tidak akan lebih dari 10 menit, bahkan kurang dari itu. Sedangkan ceramah khatib khatib kita rata rata berkisar antara 15-30 menit. Berarti ukuran tersebut sudah tergolong fashal (pemisah) yang panjang yang konsekuensinya adalah khutbah tidak sah. Kalau memang kita berpegang pada pendapat boleh ceramah dalam waktu yang panjang, itupun disyaratkan harus berbahasa arab, sedangkan ceramah khatib kita adalah dalam bahasa indonesia dan bahasa aceh. Hal ini juga menyebabkan khutbah tidak sah.
Referensi 4 mazhab terpampang jelas di depan mata kita mengatakan bahwa muwalat diantara dua khutbah itu wajib. Mengabaikan hal wajib hukumnya haram.
Jadi, usaha ulama dan santri dayah memperbaiki tata cara shalat jum’at di MRB itu adalah bagian dari menegakkan suatu kewajiban yang telah “dianaktirikan” selama puluhan tahun. Janganlah mengartikan usaha ini sebagai suatu kudeta, meraih pendapatan, merusak persaudaraan, memundurkan peradaban, menyibukkan diri dengan hal sunat dan mengabaikan yang wajib.